PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,73 persen per September 2015 masih jauh dari harapan, terutama karena Indonesia membutuhkan pertumbuhan minimal 7 persen agar dapat menjadi negara maju pada tahun 2025. Dengan menganut semangat percepatan, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya dalam rangka mendorong investasi untuk beragam sektor terkait infrastruktur. Perbaikan dalam regulasi, fiskal, dan kelembagaan telah dilakukan guna mendorong pencapaian milestones proyek prioritas.

Penyediaan infrastruktur di Indonesia berjalan lambat karena adanya kendala di berbagai tahapan proyek, mulai dari penyiapan sampai implementasi. Secara keseluruhan, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan seringkali mengakibatkan mundurnya pengambilan keputusan. Pada tahap penyiapan, terdapat masalah akibat lemahnya kualitas penyiapan proyek dan keterbatasan alokasi pendanaan. Selanjutnya, proyek sering terkendala masalah pengadaan lahan yang berakibat pada tertundanya pencapaian financial close untuk proyek KPBU. Selain itu, dari sisi pendanaan sering muncul masalah terkait tidak tersedianya dukungan fiskal dari Pemerintah akibat ketidaksesuaian atau ketidaksepakatan atas pembagian risiko antara Pemerintah dan Badan Usaha. Selain dukungan fiskal, keterbatasan jaminan Pemerintah yang dapat diberikan pada proyek infrastruktur juga menurunkan minat investasi di Indonesia.

Guna menanggulangi hambatan-hambatan tersebut, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah perbaikan dari sisi regulasi, fiskal dan kelembagaan. Pada tahun 2014 Pemerintah telah membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) untuk memimpin koordinasi percepatan infrastruktur prioritas dan mendorong peningkatan kualitas penyiapan proyek melalui Panduan OBC. Langkah perbaikan ditunjang dengan berkembangnya kapasitas Kementerian PPN / Bappenas dalam memberikan fasilitas penyiapan proyek, serta dilanjutkan oleh PPP Unit di Kementerian Keuangan dengan memberikan Project Development Fund (PDF) dan Transaction Advisory untuk proyek KPBU, sehingga diharapkan agar investor tertarik untuk mendanai proyek.

Di luar hal di atas, untuk menangani kendala pengadaan tanah, telah diterbitkan Undang-Undang No. 2 tahun 2012 untuk percepatan proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Peraturan tersebut dilengkapi dengan peraturan turunan yang telah direvisi sesuai kebutuhan.

Mengingat dukungan Pemerintah sangat penting untuk menarik investasi Badan Usaha, Pemerintah telah menerbitkan peraturan terkait pemberian VGF dan pembayaran ketersediaan layanan /availability payment. Untuk melengkapi dukungan Pemerintah tersebut, pemberian penjaminan Pemerintah telah diperluas sehingga dapat diberikan kepada BUMN yang mendapatkan penugasan pembangunan infrastruktur.

perkembangan_dukungan_infrastruktur
Perkembangan dukungan untuk infrastruktur di Indonesia.

 Di tahun 2015, Pemerintah telah giat menyusun dan menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi yang mencakup perbaikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya perumusan Peraturan Presiden tentang Proyek Strategis Nasional dan Peraturan Presiden tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Dalam sisi kebijakan fiskal, Pemerintah telah menyediakan fasilitas direct lending ke BUMN dan fasilitas availability payment dari APBN yang diharapkan dapat meningkatkan kelayakan proyek. Selain itu, perbaikan di sisi kelembagaan dapat dilihat dengan adanya peleburan antara PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dengan Pusat Investasi Pemerintah disertai dengan pengembangan mandat PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII)

Meskipun upaya-upaya Pemerintah tersebut telah memberikan dampak positif untuk penyediaan infrastruktur dan menarik investasi Badan Usaha, perlu disadari bahwa perbaikan lebih lanjut dari sisi regulasi, fiskal, dan kelembagaan masih sangat dibutuhkan.

A. PERKEMBANGAN PERBAIKAN REGULASI UNTUK MENDUKUNG PROYEK INFRASTRUKTUR

Berikut merupakan ringkasan dari upaya–upaya perbaikan regulasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama tahun 2015 dalam rangka menciptakan iklim percepatan penyediaan infrastruktur di Indonesia:

perkembangan_perbaikan_regulasi

Peraturan yang masih tahap finalisasi:

  • Revisi Perpres No. 75/2014
  • Perpres tentang Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan

PAKET KEBIJAKAN EKONOMI

Pemerintah telah mengeluarkan 8 paket kebijakan ekonomi sejak 9 September 2015 hingga 21 Desember 2015 lalu. Kedelapan paket ekonomi ini bertujuan untuk mengatur kembali regulasi Indonesia yang menghambat pertumbuhan ekonomi (deregulasi), mengatur kembali birokrasi Indonesia, dan memberikan inisiatif kemudahan sehingga iklim investasi dan perekonomian di Indonesia menjadi kondusif dan menguat.

Penjelasan tentang setiap Paket Kebijakan Ekonomi dan dampak positif yang diharapkan adalah sebagai berikut :

Paket Kebijakan Ekonomi I
Deregulasi 165 peraturan, mempercepat birokrasi perizinan terkait pengadaan lahan dan izin lainnya untuk proyek infrastruktur, memperkuat kepastian hukum untuk kepemilikan lahan, serta memperjelas tata cara dan kelengkapan dokumen yang dibutuhkan dalam prosedur perizinan.

Paket Kebijakan Ekonomi II
Mempermudah layanan dalam pemberian izin investasi di kawasan industri, memangkas durasi untuk mengurus tax allowance dan tax holiday dan menghapus pungutan PPN untuk alat transportasi. .

Paket Kebijakan Ekonomi III
Menurunkan harga BBM, gas dan tarif dasar listrik bagi industri dan menyederhanakan izin pertanahan untuk kepentingan investasi.

Paket Kebijakan Ekonomi IV
Memperbaiki sistem ketenagakerjaan serta sistem pendapatan yang meningkat setiap tahunnya dan memberikan kebijakan terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih luas dan terjangkau.

Paket Kebijakan Ekonomi V
Memberikan insentif berupa keringanan pajak dan revaluasi aset perusahaan dan BUMN serta individu untuk membuat sistem ekonomi dan investasi yang lebih transparan dan efisien.

Paket Kebijakan Ekonomi VI
Memberikan insentif berupa kemudahan investasi daerah KEK, regulasi sumber daya air dan proses perizinan yang cepat (paperless).

Paket Kebijakan Ekonomi VII
Memberikan keringanan pada industri padat karya, di mana PPh 21 menjadi tanggungan perusahaan.

Paket Kebijakan Ekonomi VIII
Kebijakan satu peta, mempercepat pembangunan kilang minyak dalam negeri dan memberikan insentif bagi perusahaan jasa pemeliharaan.

PERATURAN PRESIDEN TENTANG PROYEK STRATEGIS NASIONAL (PSN)

Meskipun pemerintah di tingkat pusat telah mengeluarkan kebijakan yang positif tentang infrastruktur, pelaksanaannya seringkali terhambat oleh kendala di lapangan. Mengingat penyediaan infrastruktur perlu dilakukan tepat waktu dibutuhkan pemberian fasilitas tambahan dalam rangka mempercepat pembangunan proyek yang dianggap memiliki kepentingan strategis nasional. Fasilitas yang diberikan adalah keistimewaan dalam perizinan dan non-perizinan, pengadaan pemerintah, pengadaan tanah, kandungan lokal, debottlenecking, tata ruang, dan jaminan pemerintah. Peraturan Presiden ini melampirkan daftar proyek yang dapat menerima fasilitas dan keistimewaan sebagaimana diatur dalam batang tubuh peraturan. KPPIP berperan dalam memilih proyek strategis nasional yang dilakukan dengan berkonsultasi dengan kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang menjadi penanggung jawab proyek. Daftar tersebut terdiri dari 225 proyek dan 1 program ketenagalistrikan.

Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Instruksi Presiden No. 6 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional telah diterbitkan pada bulan Januari 2016.

REVISI PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENUGASAN HUTAMA KARYA UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL TRANS SUMATRA

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015 yang merupakan revisi dari Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014, terdapat 24 ruas jalan tol dari Bakauheni hingga Banda Aceh yang akan diadakan dalam rangka mempercepat pembangunan jalan tol di Sumatera. Pembangunan tahap pertama diprioritaskan terhadap 8 ruas jalan tol, yang meliputi 4 ruas yang diatur pada Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014, yaitu ruas Jalan Tol Medan – Binjai, Palembang – Simpang Indralaya, Pekanbaru – Dumai, dan Bakauheni – Terbanggi Besar, dan 4 ruas jalan tol tambahan, yaitu ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang, Pematang Panggang – Kayu Agung, Palembang – Tanjung Api-api,
dan Kisaran – Tebing Tinggi. Prioritas pengusahaan tahap berikutnya ditetapkan oleh Menteri PUPR berdasarkan hasil evaluasi.

Pemerintah menugaskan pengusahaan jalan tol Trans Sumatera yang disebutkan sebelumnya kepada PT Hutama Karya (Persero) dimana penugasan mencakup pelaksanaan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaan, dengan masa konsesi selama 40 tahun. Dalam pelaksanaannya, pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tol ini dilakukan paling lambat pada akhir tahun 2019.

PERATURAN PRESIDEN TENTANG NO.146 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KILANG MINYAK DI DALAM NEGERI

Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi VIII dan dalam rangka mendukung proyek prioritas KPPIP, yaitu pembangunan kilang minyak dalam negeri, maka telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.

Peraturan ini menjadi panduan pelaksanaan dan upaya percepatan yang dapat dilakukan jika proyek kilang minyak akan dilakukan oleh Pemerintah dengan skema KPBU atau penugasan, dan Badan Usaha. Selain itu, Peraturan Presiden juga memberikan ruang kepada PT Pertamina untuk menjadi PJPK apabila proyek menggunakan skema KPBU. Selanjutnya, Peraturan Presiden juga mengatur tentang insentif yang dapat diberikan oleh Pemerintah Indonesia dan pihak yang bertindak sebagai pembeli bahan bakar (offtaker).

PERATURAN KEPALA LKKP NO. 19 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGADAAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

Peraturan Presiden No. 38 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur membutuhkan beberapa peraturan turunan untuk mendukung implementasi KPBU di Indonesia, yaitu peraturan terkait pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) dan pengadaan badan usaha pelaksana.

Sebagai tindak lanjut, telah diterbitkan Peraturan Kepala LKPP No. 19 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur pada September 2015 yang mengatur pengadaan Badan Usaha penyiapan dan Badan Usaha pelaksana proyek KPBU.

Dalam pengadaan badan usaha pelaksana, pengadaan bertujuan untuk memilih badan usaha yang akan menjadi mitra kerjasama bagi PJPK untuk melaksanakan proyek KPBU. Untuk pemilihannya, dapat dilakukan metode lelang dengan prakualifikasi atau penunjukan langsung. Penunjukan langsung dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Dengan adanya penunjukan langsung diharapkan kegagalan lelang dapat dimitigasi dan proses pengadaan dapat dipercepat.

Dalam pengadaan badan usaha penyiapan, pengadaan bertujuan untuk memilih badan usaha atau lembaga/institusi/organisasi nasional atau internasional yang dipilih melalui kesepakatan atau seleksi untuk melakukan pendampingan, penyiapan, atau transaksi KPBU.

DUKUNGAN YANG DIBERIKAN KPPIP UNTUK PENYUSUNAN DAN REVISI PERATURAN

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2014, KPPIP memiliki mandat untuk melakukan pendampingan, memfasilitasi, mengoordinasikan, memberikan rekomendasi perubahan dan/atau penerbitan baru peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk percepatan penyediaan infrastruktur, termasuk menyelesaikan hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya. Sesuai dengan mandat yang diberikan, beberapa kegiatan dilakukan oleh KPPIP untuk menyusun dan merevisi peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur.

No.RegulasiDeskripsi
1.Perubahan Peraturan Presiden No.75 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur PrioritasPeraturan Presiden No. 75 Tahun 2014 telah menetapkan keanggotaan KPPIP. Dalam perkembangannya terdapat intansi lain yang perlu diikutsertakan dalam KPPIP, yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Selain itu juga diperlukan penguatan operasional KPPIP dalam hal pengadaan barang dan jasa, terutama untuk pembentukan panel konsultan.Untuk mengakomodasi upaya percepatan penyediaan infrastruktur prioritas, Perpres No. 75/2014 perlu direvisi.
2.Keputusan Ketua KPPIP untuk membentuk Tim Kerja (Timja) Percepatan Pengadaan TanahMeskipun UU No. 2 Tahun 2012 telah diterbitkan, pengadaan tanah tetap merupakan masalah terbesar yang memperlambat proyek infrastruktur. Kendala – Kendala yang teridenti kasi antara lain :(1) Kesenjangan informasi antara Penanggung Jawab Proyek dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait lokasi dan rencana pengadaan tanah;
(2) Kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan jika terdapat kendala dalam pengadaan tanah; dan (3) Tidak adanya pemantauan dan sinkronisasi pengalihan lahan pemerintah/BUMN/BUMD untuk kepentingan umum.Oleh karena itu, KPPIP bermaksud membentuk Timja Percepatan Pengadaan Tanah untuk menyelesaikan kendala- kendala di atas serta memberikan peningkatan kapasitas yang dibutuhkan untuk percepatan.
3Penerbitan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur KetenagalistrikanPemerintah berencana untuk membangun 35.000 MW pembangkit listrik sampai dengan 2019. Seluruh proyek di dalam RUPTL, termasuk proyek yang dikembangkan oleh PT PLN sendiri maupun proyek yang dikerjasamakan dengan swasta, tercakup dalam Peraturan Presiden ini.

B. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN FISKAL

PEMBAYARAN KETERSEDIAAN LAYANAN (AVAILABILITY PAYMENT)

Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang KPBU memberikan landasan hukum atas pembayaran ketersediaan layanan (availability payment). Availability payment adalah pembayaran secara berkala oleh PJPK kepada badan usaha atas tersedianya layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan kriteria yang telah ditentukan dalam kontrak KPBU. Availability payment diharapkan dapat meningkatkan kelayakan proyek untuk menarik minat investor.

Pada bulan Oktober 2015, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 190/PMK.08/2015 untuk mengatur mekanisme pembayaran availability payment yang bersumber dari APBN. Selanjutnya akan disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur mekanisme pembayaran availability payment dari dana APBD.

JAMINAN PEMERINTAH UNTUK PINJAMAN LANGSUNG (DIRECT LENDING)

Sebelumnya, penjaminan proyek masih berfokus kepada skema KPBU atau APBN/APBD saja. Akan tetapi, pemerintah telah mengembangkan penjaminan untuk proyek yang menerima pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2015.

Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan No. 189/PMK.08/2015, maka cakupan proyek yang dapat menerima jaminan pun diperluas dengan mengikutsertakan proyek yang ditugaskan kepada BUMN melalui Peraturan Presiden atau kepemilikannya 100% milik pemerintah.

DANA PENYIAPAN PROJECT (PROJECT DEVELOPMENT FUND)

Saat ini, implementasi skema pendanaan KPBU masih terbatas karena belum siapnya keahlian dan pendanaan khusus untuk penyiapan proyek yang berkualitas sebagaimana dibutuhkan untuk kesuksesan proyek KPBU. Mengingat pentingnya skema KPBU untuk meningkatkan investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, Kementerian Keuangan telah membentuk Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (PPP Unit) untuk memberikan bantuan teknis dan pendanaan sebagaimana telah dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2014. Fasilitas ini dibiayai melalui Dana Penyiapan Proyek yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 265/PMK.08/2015.

C. PERKEMBANGAN TERKAIT KELEMBAGAAN

PENAMBAHAN MODAL KEPADA PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR (PT SMI)

Pada Desember 2015, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 232/PMK.06/2015 tentang Pelaksanaan Pengalihan Investasi Pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Perusahaan Perseroan Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) yang menjadi dasar penambahan modal PT SMI sebesar Rp 18,4 Triliun. Sebelum penambahan modal tersebut, penyertaan modal Pemerintah di PT SMI hanya terbatas pada Rp 2 Triliun.

Bersama dengan PMN tersebut, PT SMI telah mengembangkan perannya menjadi pusat pembiayaan infrastruktur di Indonesia dengan kapasitas untuk memberikan pendanaan kepada BUMN, BUMD, dan Pemerintah Daerah dalam pengembangan infrastruktur.

PENGEMBANGAN FASILITAS PT PENJAMINAN INFRASTRUKTUR INDONESIA (PT PII)

Pemberian penjaminan Pemerintah merupakan salah satu faktor penting untuk menarik investasi pada proyek. Akan tetapi, penjaminan selama ini hanya dapat diberikan pada proyek dengan skema KPBU.
Melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2015 tentang Jaminan Pemerintah Pusat atas Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN, maka cakupan proyek yang dapat memperoleh jaminan pun diperluas. Penjaminan ini dapat diberikan kepada BUMN dimana modal atau kepemilikan saham seluruhnya dimiliki oleh Pemerintah. Pemberian jaminan juga diberikan kepada BUMN yang telah diberikan penugasan melalui Peraturan Presiden. Oleh karena itu, jumlah proyek yang dapat diberikan penjaminan oleh PT PII pun dapat bertambah.

Dengan adanya perbaikan dan inisiatif baru yang dilakukan Pemerintah dalam kebijakan regulasi, skal, dan kelembagaan, diharapkan agar kendala yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur dapat diatasi sehingga keputusan percepatan yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat dan daerah dapat segera terlaksana.

Sumber : https://kppip.go.id/tentang-kppip/perkembangan-pembangunan-infrastruktur-di-indonesia/

Pemerintah Rekomendasikan Teknologi Trenchless

Dirjen Bina Konstruksi Syarif Burhanuddin

JAKARTA, KOMPAS.com – Penggunaan teknologi terus didorong pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Tujuannya adalah untuk efisiensi waktu dan tenaga, penggunaan teknologi juga bertujuan untuk efisiensi biaya selama masa konstruksi. Selain itu, teknologi juga dapat memberikan kepastian atas dilakukannya pembangunan yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan. “Kebijakan sektor konstruksi nasional tentunya harus mendorong penggunaan teknologi yang memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi saat ini. Sehingga pembangunan infrastruktur dapat berjalan lebih cepat, lebih mudah dan tentunya lebih baik,” ucap Direktur Jenderal Bina Konstruksi Syarif Burhanuddin saat membuka pameran Trenchless Asia 2019 di Jakarta, Rabu (17/7/2019). Salah satu teknologi konstruksi yang diharapkan mampu memberikan kontribusi percepatan pembangunan yaitu trenchless. Baca juga: Komite Keselamatan Konstruksi Minta Pimpinan Proyek Tol BORR Diganti Teknologi ini memungkinkan terjadinya integrasi di antara teknologi digital jasa konstruksi dalam pemasangan infrastruktur bawah tanah tanpa harus mengganggu bangunan atau bentang alam yang ada di atasnya. Keuntungan dari pemanfaatan teknologi ini antara lain lebih ramah lingkungan, meminimalisasi dampak sosial terhadap terhadap kondisi di sekitar lokasi proyek, dam mengurangi terjadinya kecelakaan kerja konstruksi. Selain itu juga durasi pekerjaan proyek lebih singkat, sehingga biaya konstruksinya lebih murah dan menjamin pencapaian kualitas konstruksi. “Memang saat ini persoalannya masyarakat melihat teknologi ini hanya untuk kontraktor besar karena biayanya mahal.

Tetapi pada prinsipnya ini justru lebih murah,” kata Syarif. “Kita bicara investasi jangka panjang dan efektivitas, karena biaya tidak tertulis itu justru lebih besar, misalnya biaya sosial. Makanya kita dorong untuk kontraktor spesialis seperti trenchless lebih banyak,” terangnya. Sejauh ini, Kementerian PUPR telah beberapa kali menggunakan teknologi serupa dalam menggarap proyek infrastruktur. Misalnya, pembangunan sodetan Kali Ciliwung ke Banjir Kanal Timur, proyek pembangunan Jalan Tol Cisumdawu, dan proyek pembangunan air limbah di beberapa kota besar di Indonesia seperti Denpasar, Yogyakarta dan Medan. Beberapa kajian menyebutkan penggunaan teknologi trenchless dalam pekerjaan infrastruktur bawah tanah hingga kedalaman 1,5 meter hanya membutuhkan biaya sebesar 3,12 dolar AS per meter kubik. Besaran biaya tersebut lebih murah dibanding metode open trench senilai 18,46 dolar AS per meter kubik. Menurut Syarif, kehadiran teknologi baru ini juga bisa menjadi peluang bagi kontraktor. Untuk itu, semua pihak perlu berkolaborasi mengambil langkah melalui kerjasama antara Pemerintah dan stakeholders terkait. “Perlu penyiapan kompetensi tenaga ahli dan terampil sesuai kebutuhan industri konstruksi saat ini dan pembinaan badan usaha jasa konstruksi melalui adopsi teknologi terkini dan perubahan status menjadi kontraktor spesialis,” ujar Syarif.

Sumber : https://properti.kompas.com/read/2019/07/17/224754721/pemerintah-rekomendasikan-teknologi-trenchless?page=all

Penerapan Teknologi untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur

Hasil gambar untuk Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DR. Ir. Arie Setriadi Moerwanto, M.Sc memberikan sambutan dalam acara Kolokium Balitbang

adan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada hari Selasa, (01/03/2016) menyelenggarkaan Kolokium Balitbang 2016 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Kementerian PUPR sendiri memiliki tugas untuk melakukan percepatan di bidang ketahanan air, pangan, konektivitas, infrastruktur dasar perumahan dan permukiman, dan perkuatan daya saing bangsa. Pembangunan tersebut menjadi hal yang perlu dipacu sekaligus diperhatikan kualitasnya supaya lebih tepat sasaran. Pembangunan infrastruktur seperti sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman permukiman merupakan tiga hal yang menjadi konsentrasi dalam acara ini. Untuk itu Badan Litbang PUPR terus melakukan kegiatan litbang yang sesuai dengan kebutuhannya, dengan fokus utama menghasilkan produk litbang dan layanan lain untuk menunjang pencapaian tugas kementerian PUPR secara tepat volume, tepat mutu dan tepat waktu. “Tugas penelitian yang kami emban tidak mudah. Kami akan berusaha keras agar dapat mengembalikan setiap rupiah dana yang ditanamkan dalam Litbang PUPR dalam bentuk-bentuk hasil litbang terapan yang siap pakai dengan nilai yang terukur,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DR. Ir. Arie Setriadi Moerwanto, M.Sc dalam sambutannya. Dengan memilih tema ‘Inovasi Teknologi Mendukung Percepatan Pembangunan Infrastruktur yang Berkualitas’, acara ini dilaksakan untuk mengimbangi derap laju tantangan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah DR. Ir. Hermanto Dardak, M.Sc memberikan sambutan dalam acara Kolokium Balitbang 2016() Dalam acara ini juga dilakukan penandatangan kerja sama dengan mitra-mitra PUPR terkait. Hal ini dilakukan secara terbuka sehingga kerja sama ini dapat transparan dalam pelaksanaannya. Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah DR. Ir. Hermanto Dardak, M.Sc menyatakan bahwa Kementerian PUPR pada era kompetisi ini memfokuskan percepatan dan penajaman pengembangan infrastruktur berbasis kewilayahan. “Kita harus membangun tetapi harus melihat tetangga kita apakah pembangunan kita bermanfaat. Setiap elemen yang kita bangun harus melekat dan harus terintigrasi, dapat kita sinkronkan dengan pemerintahan daerah supaya tercipta keterpaduan,” kata Hermanto dalam sambutan di Kolokium Balitbang PUPR 2016 yang hadir sekaligus mewakili Menteri PUPR. Beliau juga mengatakan bahwa Puslitbang sudah menyediakan teknologi yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memiliki elemen dan sangat terpadu. “Semoga acara ini dapat memberikan sinergi dalam membangun wilayah yang strategis,” tambahnya. Kolokium Balitbang yang diselenggarkaan selama dua hari, yaitu 1-2 Maret 2016 ini, menghadirkan sejumlah pembicara kunci, yaitu Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan serta Deputi Bidang Maritim dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Tak hanya itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Direktur Jenderal Bina Marga, Direktur Jenderal Cipta Karya, serta Direktur Jenderal Penyediaan Perumahaan juga menjadi pembicara utama dalam acara ini. Diskusi yang dilakukan dalam Kolokium tak hanya memaparkan rencana pengembangan dengan penggunaan teknologi untuk ketiga bidang tersebut, tetapi juga diharapkan dapat menjaring masukan untuk menyempurnakan desain penelitian, pengembangan, dan penerapan pembangunan yang lebih efektif. Dalam pelaksanaan acara ini diharapkan juga dapat terjadi kolaborasi penelitian antara Badan Litbang PUPR. (adv)  

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Penerapan Teknologi untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur”, https://biz.kompas.com/read/2016/03/01/160910628/Penerapan.Teknologi.untuk.Percepatan.Pembangunan.Infrastruktur.

Infrastruktur di Indonesia

Salah satu yang menghambat perekonomian Indonesia saat ini adalah lambatnya pembangunan infrastruktur — hal ini ditandai dengan kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur atau prasarana. Baik infrastruktur “keras” (yang merujuk kepada jaringan fisik seperti jalan dan bandara) maupun infrastruktur “non-fisik” atau “lunak” (seperti pasokan listrik, kesejahteraan sosial dan kesehatan) Indonesia tampaknya memiliki kesulitan untuk mendorong pengembangan struktural dan secara cepat.

Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016, yang disusun oleh lembaga World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati urutan ke-62 dari 140 negara dalam hal pembangunan infrastruktur — peringkat yang bertahan di standar rata-rata, namun justru menyebabkan beberapa masalah besar dalam perekonomian Indonesia.

Sejak pemerintah Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Suharto diganti dengan era reformasi pada akhir 1990-an, pengembangan infrastruktur di Indonesia tidak sejalan dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang kuat — yang terjadi setelah pemulihan dari krisis keuangan Asia di tengah commodities boom yang sangat menguntungkan Indonesia pada tahun 2000-an. Akibat kurangnya infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia gagal mencapai potensi penuh.

Bagaimana Kurangnya Infrastruktur Menghambat Pembangunan Ekonomi di Indonesia?

Ketika keadaan infrastruktur di sebuah negeri lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi). belum lagi adengan munculnya  ketidakadilan sosial, misalnya, sulit bagi sebagian penduduk untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan, atau susahnya anak-anak pergi ke sekolah karena perjalanannya terlalu susah atau mahal.

Pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi makro seharusnya memiliki hubungan timbal balik, karena pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier. Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh perekonomian. Namun, kalau infrastrukturnya tidak dapat menyerap peningkatan kegiatan ekonomi (dan tidak cukup banyak infrastruktur baru yang dikembangkan) maka akan terjadi masalah — mirip dengan arteri yang tersumbat dalam tubuh manusia, yang menyebabkan kondisi bahaya yang mengancam kehidupan karena darahnya tidak bisa mengalir.

Ini menjelaskan situasi paradoks bahwa buah yang diproduksi di dalam negeri bisa saja lebih mahal dibandingkan dengan buah yang diimpor dari luar negeri. Beberapa tahun yang lalu konsumen di Jakarta sering mengeluh karena jeruk impor dari China lebih murah di supermarket-supermarket di Jakarta dibandingkan dengan jeruk buatan Indonesia sendiri.

Selanjutnya, biaya logistik yang tinggi di Indonesia bisa menyebabkan perbedaan harga yang substansial di antara provinsi-provinsi di nusantara. Misalnya, beras atau semen jauh lebih mahal di Indonesia bagian timur daripada di pulau Jawa atau Sumatra karena biaya tambahan yang timbul dari titik produksi ke end user. Dengan kata lain, jaringan perdagangan yang lemah di Indonesia, baik antar-pulau dan intra-pulau, menyebabkan tekanan inflasi berat pada produk yang diproduksi dalam negeri.

Infrastruktur yang kurang memadai juga mempengaruhi daya tarik iklim investasi di Indonesia. Investor asing penuh kekhawatiran untuk berinvestasi di, misalnya, fasilitas manufaktur di Indonesia kalau pasokan listrik tidak pasti atau biaya transportasi sangat tinggi. Kenyataannya, Indonesia sering diganggu pemadaman listrik, meskipun negeri ini dinyatakan berkelimpahan sumber daya energi. Kasus pemadaman listrik cukup lumrah terjadi di daerah-daerah selain Jawa dan Bali .

Menurut data yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Indonesia dan Industri (Kadin Indonesia), dari total pengeluaran perusahaan di Indonesia, sekitar 17 persen diserap oleh biaya logistik. Padahal dalam ekonomi negara-negara tetangga, angka ini hanya di bawah sepuluh persen.

Hal-hal demikian jelas membuat para investor berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara itu, masalah logistik yang tidak efisien (yang mencakup bidang transportasi, pergudangan, konsolidasi kargo, clearance perbatasan, distribusi dan sistem pembayaran) menghambat peluang para pengusaha untuk memperluas bisnis mereka.

nfrastruktur fisik yang kualitasnya kurang baik dapat menyebabkan masalah yang lebih buruk. Tidak dapat dipungkiri, para investor harus mempertimbangkan kondisi Indonesia secara geografis. Lokasi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa menyebabkan wilayahnya berada di area curah hujan tropis berat. Dipadukan dengan lokasinya yang terletak di Cincin Api Pasifik, membuat Indonesia rentan dengan bencana alam (misalnya gempa bumi dan tsunami). Hal ini dapat menjadi gangguan besar untuk arus barang dan jasa.

Bayangkan, bahkan gempa yang relatif kecil di Indonesia dapat menyebabkan kerusakan serius — termasuk mengakibatkan korban jiwa — karena sebagian dari infrastruktur Indonesia tidak cukup kuat untuk menyerap kekuatan gempa itu. Sementara itu, selama musim hujan (tahunan), pemeliharaan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan banjir, dan dengan demikian, mendorong inflasi — karena kekurangan supply, akibat jaringan distribusi yang terganggu.

Setelah segudang catatan infrastruktur di atas, mengerjakan infrastruktur sosial (termasuk sistem pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial), akhirnya masih menjadi tugas susulan bagi Indonesia. Bisa dikatakan Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk mengejar ketertinggalan. Namun jika negeri ini sungguh-sungguh ingin mengembangkan tenaga kerja yang sehat, terampil, dan innovation-driven, maka Indonesia perlu mengatasi hal ini sesegera mungkin.

Pemerintah Indonesia & Pembangunan Infrastruktur

Pemerintah Indonesia sadar akan pentingnya untuk memperbaiki keadaan infrastruktur sehingga iklim investasi dan bisnis menjadi lebih menarik. Saat ini, tidak ada cukup banyak jalan, pelabuhan, bandara, dan jembatan di Indonesia (ekonomi terbesar di Asia Tenggara), sedangkan – tidak jarang – kualitas infrastruktur yang sudah ada tidak memadai. Namun, pengembangan infrastruktur Indonesia (baik infrastruktur keras maupun lunak) bukanlah tugas yang mudah. Nusantara terdiri dari sekitar 17,000 pulau (meskipun banyak dari pulau-pulau ini tidak ada penghuni dan tidak menunjukkan aktivitas ekonomi). Karena berbentuk kepulauan lebih kompleks (dan lebih mahal) untuk meningkatkan konektivitas dan menyiratkan ada kebutuhan untuk fokus pada infrastruktur maritim.

Saat ini, transportasi laut lebih mahal daripada transportasi darat karena infrastruktur maritim di Indonesia itu belum dikembangkan secara substansial. Ini juga menjelaskan mengapa – meskipun Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia dan, dengan demikian, memiliki perairan dan laut yang luas – bisnis makanan laut (seafood) di Indonesia masih tertinggal (ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya fasilitas transportasi cold storage, yang juga menghambat bisnis hortikultura di Indonesia).

Pemerintah-pemerintah di era pasca-Suharto tidak sesukses dengan Suharto, Presiden kedua Indonesia, dalam mencapai pembangunan infrastruktur. Hal ini terutama disebabkan oleh konteks politik yang berbeda: demokrasi dan desentralisasi di era pasca-Suharto menyiratkan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi menggunakan kekuatan militer untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek infrastruktur. Sebaliknya, pemerintah di era demokrasi harus bergantung pada putusan pengadilan, yaitu proses panjang dan putusannya tidak selalu sesuai kehendak pemerintah. Sementara itu, desentralisasi kekuasaan kadang-kadang menyebabkan bahwa pemerintah daerah tidak mau mendukung rencana infrastruktur pemerintah pusat karena tidak ada cukup banyak keuntungan finansial bagi pejabat pemerintah daerah.

Pemerintah pusat yang kurang kuat dibanding dulu juga berarti bahwa telah menjadi lebih kompleks untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup tanah di lebih dari satu provinsi. Koordinasi dan komunikasi di antara pemerintah daerah dan pusat di Indonesia boleh dikatakan lemah, yang biasanya disalahkan pada kualitas lemah sumber daya manusia di tingkat lokal. Sementara itu, kadar birokrasi (red tape) di Indonesia sangat tinggi – baik di pusatmaupun daerah – yang sering mengakibatkan keterlambatan (atau pembatalan) proyek infrastruktur karena pembuatan aturan pada tingkat pusat biasanya mencakup isu-isu makro, sedangkan fine-tuning dilakukan melalui berbagai peraturan menteri serta peraturan daerah, sehingga birokrasi memainkan peran besar dan yang menyebabkan kerangka peraturan yang tidak jelas karena koordinasi antara pusat dan daerah tidak optimal.

Terakhir, masalah terjadi karena hubungan dekat antara elit politik dan elit korporasi di Indonesia (baik di tingkat pusat dan daerah). Kedua kelompok terutama terfokus pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, bukan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini terkadang menyebabkan keterlambatan dalam pembangunan infrastruktur misalnya saat elit politik lokal memberikan konsesi pada perusahaan teman (yang mungkin telah membantu untuk membiayai kampanye elit politik lokal), sementara perusahaan teman itu tidak mampu menyelesaikan proyek infrastruktur tersebut. Bahkan, konsesinya dijual kepada pihak ketiga dengan menyaku keuntungan. Ini berarti bahwa banyak waktu berharga telah berlalu sebelum proyek infrastruktur itu baru ditangani secara serius.

Dalam konteks kompleks ini Presiden Joko Widodo mencari pendekatan baru untuk mencapai terobosan yang sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Misalnya, anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur telah meningkat tajam sejak Widodo memimpin negara ini (ini juga dimungkinkan karena pemerintah telah memotong subsidi energi).

Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Indonesia:

Selanjutnya, Widodo menunjuk sejumlah perusahaan milik negara (BUMN) sebagai pengembang proyek infrastruktur utama. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki aset lebih besar dibandingkan dengan perusahaan swasta dan juga mampu mengumpulkan dana tambahan dari bank (BUMN) dengan lebih mudah. Ada juga peningkatan suntikan modal dari anggaran negara di dalam beberapa perusahaan konstruksi milik negara. Taktik baru lain adalah untuk mengadakan tender di tahun sebelum proyek infrastruktur diharapkan mulai dibangun.

Pembebasan Lahan: Salah Satu Kendala Utama Pembangunan Infrastruktur

Selain masalah pendanaan, kendala terbesar terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia tampaknya pembebasan lahan. Proses pembebasan lahan itu adalah proses yang sangat rumit (makan waktu lama dan membawa ongkos mahal) karena banyak pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka kepada pengembang proyek infrastruktur (misalnya banyak petani Indonesia enggan menjual tanah mereka kepada pengembang pembangkit listrik atau jalan) atau pemilik tanah ini minta harga yang sangat tinggi untuk tanah mereka. Karena kesusahan pembebasan tanah banyak proyek infrastruktur di Indonesia ditunda bertahun-tahun atau dibatalkan sama sekali.

Pada akhir 2011 tampaknya ada cahaya di ujung terowongan karena pemerintah dan parlemen Indonesia menyetujui UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dirancang untuk mempercepat proses pembebasan lahan. Hak milik tanah tertentu bisa dicabut demi kepentingan umum. Undang-undang ini juga menentukan batas waktu pada setiap tahap prosedural dan memastikan perlindungan bagi pemegang tanah. Namun, bertentangan dengan optimisme pada tahap awal, UU No. 2/2012 ini gagal untuk benar-benar mempercepat pembangunan infrastruktur. Kegagalan ini disebabkan kurangnya kemauan dari pihak pemerintah di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu pemerintah enggan menggunakan UU ini untuk memaksa pembebasan lahan karena pemerintah sudah cukup terganggu oleh penurunan tingkat popularitas karena munculnya beberapa kasus korupsi di antara kalangan pemerintah. Seandainya memaksa orang untuk menjual tanah mereka pasti akan menyebabkan keluhan besar di antara rakyat dan para pendukung hak asasi manusia (HAM). Soalnya beberapa studi menunjukkan bahwa akuisisi lahan yang terpaksa di Indonesia menyebabkan konflik serta hilangnya pendapatan orang yang kehilangan tanah mereka.

Presiden Joko Widodo tampaknya lebih berani dan kurang peduli dengan (kemungkinannya) tuduhan HAM dan lebih memilih untuk melihat manfaat yang lebih besar bagi masyarakat daripada manfaat bagi segelintir orang. Widodo secara nyata mendukung beberapa proyek infrastruktur besar seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah dan jalan tol Balikpapan-Samarinda dengan memaksa terobosan (apalagi Widodo hadir pada upacara groundbreaking kedua proyek tersebut), meskipun bagian dari masyarakat setempat terus memprotes terhadap proyeknya dan menolak untuk menjual tanah mereka. Ini juga harus dianggap sebagai tanda kepada investor bahwa pemerintahan Widodo tidak akan membiarkan proyek penting ditunda terus. Namun, para pengkritik bilang bahwa orang yang dipaksa pindah (dan jual tanah mereka) mengalami kesusahan untuk menemukan sumber pendapatan baru (mereka hanya menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai satu kali saja) dan menghadapi kesulitan untuk beradaptasi dalam lingkungan sosial yang baru. Para pengkritik juga mengatakan bahwa orang-orang biasa (yang dipaksa jual tanah mereka) memiliki sangat sedikit ruang untuk bernegosiasi untuk mendapatkan kompensasi yang adil lewat UU No. 2/2012.

Sumber Pendanaan Investasi di Infrastruktur di Indonesia

Mungkin masalah terbesar – yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia – adalah untuk menemukan semua dana yang diperlukan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total Rp 4.796 triliun diperlukan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur (yang ditetapkan pemerintah) pada tahun 2019. Namun, pemerintah pusat dan daerah hany bisa memberikan kontribusi 41 persen untuk pembiayaan, sementara perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) hanya dapat memberikan kontribusi hingga 22 persen. Ini berarti bahwa 37 persen dari dana yang dibutuhkan (sekitar Rp 1.752 triliun) harus berasal dari sektor swasta.

Namun, masalahnya yaitu sektor swasta – secara umum – tidak terlalu antusias untuk mengambil komitmen pada proyek yang berjangka panjang dan padat modal. Apalagi kalau iklim investasi tidak optimal di negara tujuannya. Seperti dijelaskan di atas, di Indonesia proyek infrastruktur dapat ditunda selama berbagai tahun (atau dibatalkan sama sekali) karena masalah pembebasan lahan atau rintangan birokrasi lainnya. Maka, bisa saja sebelum groundbreaking proyeknya terjadinya pergantian pemerintahan dengan presiden baru yang tidak memprioritaskan proyek infrastruktur tersebut. Mengingat kepastian hukum dan peraturan cukup lemah di Indonesia, sektor swasta cenderung sangat berhati-hati dengan berinvestasi di proyek-proyek jangka panjang dan padat modal (dan oleh karena itu keputusan Presiden Widodo untuk menggunakan perusahaan milik negara untuk membiayai dan membangun bagian besar dari proyek infrastruktur di Indonesia adalah keputusan yang bijaksana).

Sebelumnya, selama pemerintahan Yudhoyono, pemerintah menaruh harapan tinggi pada kemitraan publik-swasta (KPS) untuk pembangunan infrastruktur. Namun, skema ini tidak menghasilkan sukses yang signifikan. Untuk memberikan kepastian kepada investor swasta, pemerintah juga membentuk Penjamin Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund, atau IIGF). Lembaga ini memberikan jaminan tertentu terhadap risiko infrastruktur untuk proyek-proyek di bawah skema KPS.

Namun, akan memerlukan terobosan besar untuk mencapai ambisi infrastruktur pemerintah Indonesia baik dalam hal skema untuk membiayai proyek maupun terobosan untuk meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Toh kami percaya bahwa pemerintahan Widodo berada pada jalur yang benar dalam hal pembangunan infrastruktur: pemerintah dengan semangat meningkatkan pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur melalui anggaran negara (dan melalui badan usaha milik negara, BUMN), sambil berupaya meningkatkan iklim investasi melalui deregulasi dan dengan mendukung pengembang proyek infrastruktur utama yang mengalami masalah pembebasan lahan.

Terakhir, kami ingin menyampaikan bahwa teks di atas terutama menjelaskan mengapa Indonesia kekurangan kuantitas infrastruktur. Namun, ada juga kekurangan kualitas: banyak jalan yang rusak, jembatan ambruk, dan pelabuhan yang sudah lama dan tidak memadai adalah beberapa contoh. Tidak jarang, jalan yang baru dibuat langsung rusak parah setelah kena banjir. Hal ini sebagian disebabkan oleh keinginan pengembang untuk menggunakan bahan murah (dan sedikit aspal) serta sumber daya manusia berkualitas rendah untuk mewujudkan proyek tersebut namun juga karena kurangnya dana untuk keperluan pemeliharaan (setelah infrastrukturnya dibangun). Salah urus (mismanagement), korupsi dan ketidakmampuan (kekurangan ketrampilan) adalah penyebab utama keadaan lemah infrastruktur di Indonesia.

Sumber : https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/risiko/infrastruktur/item381?

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai